10/07/2025
Di bawah terik matahari Kimberley, sekitar tahun 1902, sebuah foto hitam putih merekam luka sejarah yang tak bisa dihapus: dua belas pria Aborigin duduk bersimpuh, tubuh mereka kurus dan lelah, diikat rantai besi berat yang melingkari leher dan pergelangan tangan. Di belakang mereka berdiri seorang penjaga kulit putih, tak bersenjata tapi memegang kekuasaan penuh atas nasib para tahanan ini.
Mereka bukan penjahat seperti yang dibayangkan hari ini. Banyak dari mereka ditangkap karena berburu ternak di wilayah yang dulunya merupakan tanah leluhur mereka sebuah bentuk bertahan hidup ketika kolonialisme menghapus akses mereka terhadap makanan dan air. Namun sistem hukum kolonial menyebutnya pelanggaran. Hukum tak berpihak pada mereka yang asli dari tanah itu.
Rantai leher yang digunakan beratnya sekitar lima pon (lebih dari 2 kilogram), sering mengikat hingga sepuluh orang sekaligus, memaksa mereka berjalan dalam barisan, tanpa alas kaki, menempuh jarak jauh di bawah suhu yang bisa mencapai 45 derajat Celsius. Tidak ada tempat berteduh. Tidak ada air. Tidak ada pilihan.
Foto ini diambil di Penjara Wyndham, Western Australia, dan hingga kini menjadi bukti bisu kekerasan sistemik yang diterapkan atas nama “hukum dan ketertiban.” Meski praktik rantai ini secara resmi dilarang pada tahun 1905, dalam kenyataannya terus digunakan hingga dekade-dekade setelahnya.
Bagi masyarakat Aborigin, luka ini bukan sekadar masa lalu. Ia masih hidup dalam memori kolektif, dalam perjuangan untuk pengakuan, dan dalam langkah-langkah menuju rekonsiliasi.
Gambar seperti ini mengingatkan kita bahwa sejarah tidak selalu ditulis oleh mereka yang benar, tapi oleh mereka yang berkuasa. Dan karena itu, kisah para lelaki yang dirantai ini harus terus diceritakan agar dunia tahu, dan tidak mengulanginya.
